Rabu, 09 Oktober 2013

Kajian Budaya (Cultural Studies) dalam Tinjauan Filsafat Ilmu (Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi)



 PENDAHULUAN

Apa yang dinamakan kajian budaya saat ini dalam bidang ilmu sosial, kurang lebih sama dengan apa yang dimaksud dengan cultural studies, yaitu sebuah pendekatan terhadap kebudayaan yang lahir di Inggris, yang mendapat bentuk pada akhir 1950-an tetapi kemudian diresmikan sebagai pusat studi kebudayaan yang dikenal dengan Center For Contemporary Cultural Studies di Birmingham pada tahun 1964, dengan direktur pertamanya, Richard Hoggart. Pendekatan terhadap kebudayaan yang diperkenalkan oleh kelompok ini ternyata memberikan semacam “antitesa” terhadap apa yang berlaku pada antropologi budaya.

Beberapa asumsi yang coba ditawarkan oleh kajian budaya (CS), ternyata mengubah pandangan orang tentang kebudayaan, yang pada awalnya sangat dipengaruhi oleh asumsi-asumsi antropologi. Asumsi-asumsi inilah yang kemudian sangat membedakan kajian budaya (CS) dari ilmu-ilmu lainnya.Sebagai sebuah ilmu tentunya kajian budaya memiliki 3 aspek seperti yang dimiliki oleh ilmu-ilmu lainnya, yaitu aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi. Sebagai mahasiwa dalam disiplin ilmu kajian budaya (CS), pemahaman filsafat ilmu  dalam disiplin ilmu kajian budaya (CS) sangatlah penting, terutama pemahaman dari aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi sangat bermanfaat.




1.      PEMAHAMAN ASPEK ONTOLOGI  TERHADAP ILMU KAJIAN BUDAYA
Ontologi yang merupakan jawaban terhadap apa yang menjadi objek sebenarnya (proper object) dari ilmu tersebut, Setiap ilmu harus mempunyai objek sebenarnya (proper object) yang berwujud objek material dan objek formal. Objek material adalah fenomena yang ditelaah oleh ilmu sedangkan objek formal adalah pusat perhatian dalam penelahaan terhadap fenomena. Tidak bisa disangsikan lagi bahwa ilmu bisa memiliki objek material yang sama tetapi perbedaan sudut pandang terhadap objek material yang sama akan menghasilkan macam ilmu yang berbeda. Secara ontologi, kajian budaya berbeda hakekatnya.

Aspek ontologi menyangkut  fakta, realitas, fenomena empiris yang menjadi objek telaah  suatu  ilmu. Aspek ontologi kajian budaya (cultural Studies) adalah menyangkut  kebudayaan sebagai fakta/realitas/ fenomena empiris. Konsep budaya  dalam cultural Studies  bukanlah seperti  didefenisikan  dalam  kajian lain sebagai objek keadiluhungna  estetis atau sebuah proses  perkembangan estetik, intelektual dan spriritual, melainkan budaya sebagai teks  dan praktik  hidup sehari-hari. Aspek-aspek yang menjadi kajian dari disiplin ilmu Cultural Studies, meliputi apsek politik, ekonomi, kepercayaan, sturuktur sosial, pendidikan, teknologi, bahasa, seni dan lain-lain (Pujaastawa, 2013).

Secara lebih spesifik objek telaah kajian budaya (Cultural Studies) sebagai bagian dari aspek ontology adalah sebagai berikut :
Negara dan kebijakan sosial
Kontrol sosial
Budaya pop
Analisis wacana
Media massa
Kajian jender
Psikologi sosial
Sosiologi pendidikan
Gerakan sosial
Metode penelitian
Ras dan etnisitas
Politik dan politik mikro.
Pujaastawa (2013)


2.      PEMAHAMAN ASPEK EPISTEMOLOGI  TERHADAP ILMU KAJIAN BUDAYA

Epistemologis dapat diartikan sebagai  teori ilmu. Sebagai cabang filsafat, menyelediki  asal, sifat, metode, dan bahasan pengetahuan  manusia. Epistemologi juga  disebut sebagai teori pengetahuan  (theory of knowledge). Epistemologi sebagai teori pengetahuan, membahas secara mendalam  seluruh proses  yang terlihat dalam  usaha manusia  untuk memperoleh  pengetahuan, sebab pengetahuan  didapat  melalui proses  tertentu  yang dinamakan  metode keilmuan. Jujun S. Sumintri, (1985) dalam Ginting (2013)
Epistemologis yang mengacu pada metode atau cara bagaimana objek tersebut dikaji untuk mendapat pengetahuan, Aspek epistimologis dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai metode yang berarti cara kerja yang teratur dan sistematis yang digunakan untuk memahami suatu objek yang dipermasalahkan dan sekaligus merupakan sasaran dari bidang ilmu tertentu. Oleh karena itu setiap cabang ilmu pengetahuan (termasuk kajian budaya) harus mengembangkan metodologi yang sesuai dengan objek studi ilmu pengetahuan itu sendiri.kajian budaya adalah sebuah ilmu yang bersifat interdisipliner, transdisipliner, dan kadang-kadang bahkan kontra disiplineryang beroperasi dalam tegangan antara berbagai kecenderungan untuk meliputi sebuah konsesi antropologis yang luas tentang kebudayaan dan sebuah konsepsi humanis yang semakin dipersempit tentang kebudayaan.
            Chris Barker (2005) mengakui bahwa kajian budaya tidak memiliki titik acuan yang tunggal.Selain itu, kajian budaya memang terlahir dari indung alam pemikiran strukturalis/pascastrukturalis yang multidisipliner dan teori kritis multidisipliner, terutama di Inggris dan Eropa kontinental. Artinya kajian budaya mengkomposisikan berbagai kajian teoritis disiplin ilmu lain yang dikembangkan secara lebih longgar sehingga mencakup potongan-potongan model dari teori yang sudah ada dari para pemikir strukturalis/pascastrukturalis. Sedangkan teori sosial kritis sebenarnya sudah mendahului tradisi disiplin “kajian budaya” melalui kritik ideologinya yang dikembangkan Madzhab Frankfurt.Sebuah kritik yang dimaknai dari pandangan Kantian, Hegelian, Marxian, dan Freudian.Sehubungan dengan karakter akademis, pandangan lain dari Ben Agger membedakan kajian budaya sebagai gerakan teoritis, dan kajian budaya sebagai mode analisis dan kritik budaya ateoritis yang tidak berasal dari poyek teori sosial kritis, yaitu kritik ideologi.
Komposisi teoritis yang diajukan sebagai karakter akademis dalam kajian budaya mengekspresikan temuan-temuan baru dalam hal metodologi terhadap cara pemaknaan sebuah praktik-praktik kebudayaan yang lebih koheren, komprehensif, polivocality (banyak suara) dan menegasikan keobjektifan suatu klaim pengetahuan maupun bahasa.
Karakter akademis kajian budaya memang sangat terkait dengan persoalan metodologi.Penteorisasian tidak hanya merujuk pada satu wacana disiplin tunggal namun banyak disiplin, maka ini pun yang disebut sebagai ciri khas kajian budaya dengan istilah polivocality. Senada dengan yang disampaikan oleh Paula Sakko, kajian budaya mengambil bentuk kajian yang dicirikan dengan topik lived experience (pengalaman yang hidup), discourse (wacana), text (teks) dan social context (konteks sosial). Jadi, metodologi dalam kajian budaya ini tersusun atas wacana, pengalaman hidup, teks, dan konteks sosial dengan menggunakan analisis yang luas mengenai interaksi antara ‘yang hidup’, yang dimediasi, keberyakinan (agama), etnik, tergenderkan, serta adanya dimensi ekonomi dan politik dalam dunia jaman sekarang (modern/kapitalis).
Bagi Saukko, hal yang paling fundamental dalam “kajian budaya”, pertama, ketertarikan dalam budaya yang secara radikal berbeda dari budaya yang ada (high culture to low culture/popular), kedua, analisis dengan kritis budaya yang menjadi bagian integral dari pertarungan dan budaya (teks dan konteks sosial). Hal yang harus dipenuhi dalam memandang konteks sosial adalah sensitifitas pada konteks sosial dan kepedulian pada kesejarahan.
Sedangkan yang menjadi bagian terpenting dari metodologi kajian budaya dan dianggap good/valid research adalah truthfulness, self-reflexivity, polivocality. Dan, menerapkan sebuah validitas dekonstruktif yang biasa digunakan oleh peneliti pascastrukturalis, yaitu postmodern excess (Baudrillard), genealogical historicity (Foucalt), dan deconstructive critique (Derrida). Pada kerangka bagan yang dibuat Saukko dalam bukunya itu, Truthfullness digambarkan dengan paradigma; ontologi, epistemologi, metapora, tujuan penelitian dan politik yang disandingkan dengan model triangulasi, prism, material semiotic dan dialogue.
Self-reflexivity ditempatkan pada jalur seperti yang digunakan teori sosial kritis yang dilandaskan pada kritik ideologi dan peran atas basis kesadaran yang merepresentasikan ruang dialog dan wacana saling bertemu, mempengaruhi, mengaitkan berbagai kepentingan, pola kekuasaan serta konteks sosial dan sejarahnya.
Polivocality menyematkan berbagai pandangan yang berbeda (atau suara) dengan cakupan teori-teori yang saling mengisi dan dengan mudah dapat didukung satu sama lain, meski ini membutuhkan ketelitian dalam mengkombinasikan pandangan-pandangan lain agar memberikan kesesuaian bagi karekater akademis Kajian budaya.
Paradigma yang digunakan mengambil model triangulasi yang berupaya mengkombinasikan berbagai macam bahan atau metode-metode untuk melihat apakah saling menguatkan satu sama lain. Maka, kajian budaya sangat berpotensi memberikan peluang bagi suatu kajian yang baru dan menarik minat mahasiswa.Validitas (keabsahan) penelitian dalam Cultural Studies yang menuju ‘kebenaran’ (truth) maka yang dipakai adalah triangulation.
Berbeda dengan antropologi tradisional, cultural studies bertumbuh dari berbagai analisis tentang masyarakat industri modern. Metodeloginya bersifat tipikal interpretative dan evaluative, namun berbeda dari humanism tradisional cultural studies menolak persamaan yang dibuat antara kebudayaan dan kebudayaan tinggi dengan alasan bahwa segala bentuk produksi budaya harus dipelajari dalam kaitan praktek kebudayaan lainnya dan dalam kaitan dengan struktur-struktur sosial dan historis.

3.      PEMAHAMAN AKSIOLOGI TERHADAP ILMU KAJIAN BUDAYA

Aksiologi merupakan  cabang filsafat ilmu  yang mempertanyakan bagaimana  manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi berasal dari bahasa Yunani  : axion (nilai) dan logos (teori), yang berarti  teori tentang nilai. Di jaman modern ini ilmu merupakan  sesuatu yang penting  bagi  kehidupan manusia, karena dengan ilmu  semua kebutuhan manusia  dapat terpenuhi.

Aksiologi  adalah sebuah istilah  yang dalam filsafat  ilmu pengetahuan biasanya digunakan untuk menjelaskan  asas manfaat  atau kegunaan  suatu ilmu pengethuan. Kajian budaya  merupakan  istilah  yang menunjuk kepada  salah satu bidang  ilmu yang dalam bahasa  Inggris  disebut Cultural Studies  yang pengertiannya  dibedakan  dengan pengertian Study of Culture atau kajian tentang kebudayaan. (Barker, 2005).

Aksiologis dalam kajian budaya (Cultural Studies) berhubungan dengan makna pengetahuan tersebut bagi kehidupan manusia. Secara kuantitatif ilmu akanterus berkembang, aspek aksiologis suatu ilmu pengetahuan bersifat pragmatis berhubungan dengan nilai dan manfaat bagi kemanusiaan. Dengan meminjam istilah ilmu ekonomi, sebagai suatu produk (identik dengan komoditi) hasil sebuah aktivitas atau proses ilmiah setiap ilmu pengetahuan pasti memiliki nilai guna (utility) dan kebergunaan (usefulness). Misalnya handphone adalah suatu produk iptek.Sebagai handphone, dia memiliki nilai guna (utility) tersendiri tetapi kebergunaannya (usefulness) hampir tidak ada di suatu daerah yang tidak dijangkau sinyal telekomunikasi.
Sebagai ilmu, nilai guna yang dimiliki disiplin ini tercermin dalam tujuan dibangunnya ilmu itu sendiri yakni untuk mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan. 
Untuk mengetahui nilai guna dari cultural studies, dapat dilihat dari perubahan makna kata culture. Pada awalnya, culture berarti kecenderungan dalam pertumbuhan alamiah atau proses pendidikan manusia. Dalam masa industriInggris kata itu kemudian mendapat beberapa arti yang khas. 1. Kebiasaan berpikir (habbit of mind) yang terhubung dengan kesempurnaan atau penyempurnaan diri manusia, 2. Keadaan umum dariperkembangan intelektual suatu masyarakat secara keseluruhan, 3.Segala sesuatu yang berhubungan dengan kesenian (general body of arts), 4. Keseluruhan cara hidup, materiil, intelektual dan spiritual. Kata ini dan pergeseran makna didalamnya menunjukkan dengan sangat jelas berbagai pergeseran kepentingan yang terjadi karena pengaruh dinamika baru yang dibawa industrialisasi. Dengan kata lain, bahasa adalah tempat yang dapat merefleksikan konstruksi berbagai kepentingan yang saling bersaing dalam masyarakat. Cultural studies tidak memberikan strategi bagaimana menyelesaikan masalah, tetapi lebih memberi perhatian kepada munculnya suatu masalah karena tidak disadarinya berbagai kepentingan yang dikonstruksikan dalam kebudayaan. Karena itu tugas cultural studies adalah mengungkapkan berbagai kepentingan tersebut dengan memberi fokus kepada beberapa masalah seperti peranan kekuasaan dalam kebudayaan, persoalan kebudayaan tinggi dan rendah dalam kebudayaan, depolitisasi atau politisasi pengertian keudayaan, serta kedudukan gender dan seksualitas dalam kebudayaan. Kecenderungan-kecenderungan seperti ini berjalan parallel dengan perkembangan yang terjadi dalam post-modernisme, yang ingin memeriksa kembali ideologisasi kepentingan tertentu melalui ilmu pengetahuan dan paham-paham kebudayaan dalam modernisme.
  
Kajian Budaya (Cultural Studies) sebagai salah satu bidang ilmu baru di Indonesia, memiliki gagasan tentang keberpihakan atau membela  kepada pihak  atau golongan tertentu dengan mengutamakan  sifat partisipatoris, dan hal ini  berkaitan dengan  asas manfaat  atau aspek aksiologi dari ilmu kajian budaya. Sejalan dengan itu diharpkan ilmu kajian budaya dapat bernilai  guna, yakni memberdayakan masyarakat  atau membebaskan  manusia  dari penindasan  dan marginalisasi (Dhana, I Nyoman, 2013).

1 komentar: