Rabu, 09 Oktober 2013

Kajian Budaya (Cultural Studies) dalam Tinjauan Filsafat Ilmu (Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi)



 PENDAHULUAN

Apa yang dinamakan kajian budaya saat ini dalam bidang ilmu sosial, kurang lebih sama dengan apa yang dimaksud dengan cultural studies, yaitu sebuah pendekatan terhadap kebudayaan yang lahir di Inggris, yang mendapat bentuk pada akhir 1950-an tetapi kemudian diresmikan sebagai pusat studi kebudayaan yang dikenal dengan Center For Contemporary Cultural Studies di Birmingham pada tahun 1964, dengan direktur pertamanya, Richard Hoggart. Pendekatan terhadap kebudayaan yang diperkenalkan oleh kelompok ini ternyata memberikan semacam “antitesa” terhadap apa yang berlaku pada antropologi budaya.

Beberapa asumsi yang coba ditawarkan oleh kajian budaya (CS), ternyata mengubah pandangan orang tentang kebudayaan, yang pada awalnya sangat dipengaruhi oleh asumsi-asumsi antropologi. Asumsi-asumsi inilah yang kemudian sangat membedakan kajian budaya (CS) dari ilmu-ilmu lainnya.Sebagai sebuah ilmu tentunya kajian budaya memiliki 3 aspek seperti yang dimiliki oleh ilmu-ilmu lainnya, yaitu aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi. Sebagai mahasiwa dalam disiplin ilmu kajian budaya (CS), pemahaman filsafat ilmu  dalam disiplin ilmu kajian budaya (CS) sangatlah penting, terutama pemahaman dari aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi sangat bermanfaat.




1.      PEMAHAMAN ASPEK ONTOLOGI  TERHADAP ILMU KAJIAN BUDAYA
Ontologi yang merupakan jawaban terhadap apa yang menjadi objek sebenarnya (proper object) dari ilmu tersebut, Setiap ilmu harus mempunyai objek sebenarnya (proper object) yang berwujud objek material dan objek formal. Objek material adalah fenomena yang ditelaah oleh ilmu sedangkan objek formal adalah pusat perhatian dalam penelahaan terhadap fenomena. Tidak bisa disangsikan lagi bahwa ilmu bisa memiliki objek material yang sama tetapi perbedaan sudut pandang terhadap objek material yang sama akan menghasilkan macam ilmu yang berbeda. Secara ontologi, kajian budaya berbeda hakekatnya.

Aspek ontologi menyangkut  fakta, realitas, fenomena empiris yang menjadi objek telaah  suatu  ilmu. Aspek ontologi kajian budaya (cultural Studies) adalah menyangkut  kebudayaan sebagai fakta/realitas/ fenomena empiris. Konsep budaya  dalam cultural Studies  bukanlah seperti  didefenisikan  dalam  kajian lain sebagai objek keadiluhungna  estetis atau sebuah proses  perkembangan estetik, intelektual dan spriritual, melainkan budaya sebagai teks  dan praktik  hidup sehari-hari. Aspek-aspek yang menjadi kajian dari disiplin ilmu Cultural Studies, meliputi apsek politik, ekonomi, kepercayaan, sturuktur sosial, pendidikan, teknologi, bahasa, seni dan lain-lain (Pujaastawa, 2013).

Secara lebih spesifik objek telaah kajian budaya (Cultural Studies) sebagai bagian dari aspek ontology adalah sebagai berikut :
Negara dan kebijakan sosial
Kontrol sosial
Budaya pop
Analisis wacana
Media massa
Kajian jender
Psikologi sosial
Sosiologi pendidikan
Gerakan sosial
Metode penelitian
Ras dan etnisitas
Politik dan politik mikro.
Pujaastawa (2013)


2.      PEMAHAMAN ASPEK EPISTEMOLOGI  TERHADAP ILMU KAJIAN BUDAYA

Epistemologis dapat diartikan sebagai  teori ilmu. Sebagai cabang filsafat, menyelediki  asal, sifat, metode, dan bahasan pengetahuan  manusia. Epistemologi juga  disebut sebagai teori pengetahuan  (theory of knowledge). Epistemologi sebagai teori pengetahuan, membahas secara mendalam  seluruh proses  yang terlihat dalam  usaha manusia  untuk memperoleh  pengetahuan, sebab pengetahuan  didapat  melalui proses  tertentu  yang dinamakan  metode keilmuan. Jujun S. Sumintri, (1985) dalam Ginting (2013)
Epistemologis yang mengacu pada metode atau cara bagaimana objek tersebut dikaji untuk mendapat pengetahuan, Aspek epistimologis dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai metode yang berarti cara kerja yang teratur dan sistematis yang digunakan untuk memahami suatu objek yang dipermasalahkan dan sekaligus merupakan sasaran dari bidang ilmu tertentu. Oleh karena itu setiap cabang ilmu pengetahuan (termasuk kajian budaya) harus mengembangkan metodologi yang sesuai dengan objek studi ilmu pengetahuan itu sendiri.kajian budaya adalah sebuah ilmu yang bersifat interdisipliner, transdisipliner, dan kadang-kadang bahkan kontra disiplineryang beroperasi dalam tegangan antara berbagai kecenderungan untuk meliputi sebuah konsesi antropologis yang luas tentang kebudayaan dan sebuah konsepsi humanis yang semakin dipersempit tentang kebudayaan.
            Chris Barker (2005) mengakui bahwa kajian budaya tidak memiliki titik acuan yang tunggal.Selain itu, kajian budaya memang terlahir dari indung alam pemikiran strukturalis/pascastrukturalis yang multidisipliner dan teori kritis multidisipliner, terutama di Inggris dan Eropa kontinental. Artinya kajian budaya mengkomposisikan berbagai kajian teoritis disiplin ilmu lain yang dikembangkan secara lebih longgar sehingga mencakup potongan-potongan model dari teori yang sudah ada dari para pemikir strukturalis/pascastrukturalis. Sedangkan teori sosial kritis sebenarnya sudah mendahului tradisi disiplin “kajian budaya” melalui kritik ideologinya yang dikembangkan Madzhab Frankfurt.Sebuah kritik yang dimaknai dari pandangan Kantian, Hegelian, Marxian, dan Freudian.Sehubungan dengan karakter akademis, pandangan lain dari Ben Agger membedakan kajian budaya sebagai gerakan teoritis, dan kajian budaya sebagai mode analisis dan kritik budaya ateoritis yang tidak berasal dari poyek teori sosial kritis, yaitu kritik ideologi.
Komposisi teoritis yang diajukan sebagai karakter akademis dalam kajian budaya mengekspresikan temuan-temuan baru dalam hal metodologi terhadap cara pemaknaan sebuah praktik-praktik kebudayaan yang lebih koheren, komprehensif, polivocality (banyak suara) dan menegasikan keobjektifan suatu klaim pengetahuan maupun bahasa.
Karakter akademis kajian budaya memang sangat terkait dengan persoalan metodologi.Penteorisasian tidak hanya merujuk pada satu wacana disiplin tunggal namun banyak disiplin, maka ini pun yang disebut sebagai ciri khas kajian budaya dengan istilah polivocality. Senada dengan yang disampaikan oleh Paula Sakko, kajian budaya mengambil bentuk kajian yang dicirikan dengan topik lived experience (pengalaman yang hidup), discourse (wacana), text (teks) dan social context (konteks sosial). Jadi, metodologi dalam kajian budaya ini tersusun atas wacana, pengalaman hidup, teks, dan konteks sosial dengan menggunakan analisis yang luas mengenai interaksi antara ‘yang hidup’, yang dimediasi, keberyakinan (agama), etnik, tergenderkan, serta adanya dimensi ekonomi dan politik dalam dunia jaman sekarang (modern/kapitalis).
Bagi Saukko, hal yang paling fundamental dalam “kajian budaya”, pertama, ketertarikan dalam budaya yang secara radikal berbeda dari budaya yang ada (high culture to low culture/popular), kedua, analisis dengan kritis budaya yang menjadi bagian integral dari pertarungan dan budaya (teks dan konteks sosial). Hal yang harus dipenuhi dalam memandang konteks sosial adalah sensitifitas pada konteks sosial dan kepedulian pada kesejarahan.
Sedangkan yang menjadi bagian terpenting dari metodologi kajian budaya dan dianggap good/valid research adalah truthfulness, self-reflexivity, polivocality. Dan, menerapkan sebuah validitas dekonstruktif yang biasa digunakan oleh peneliti pascastrukturalis, yaitu postmodern excess (Baudrillard), genealogical historicity (Foucalt), dan deconstructive critique (Derrida). Pada kerangka bagan yang dibuat Saukko dalam bukunya itu, Truthfullness digambarkan dengan paradigma; ontologi, epistemologi, metapora, tujuan penelitian dan politik yang disandingkan dengan model triangulasi, prism, material semiotic dan dialogue.
Self-reflexivity ditempatkan pada jalur seperti yang digunakan teori sosial kritis yang dilandaskan pada kritik ideologi dan peran atas basis kesadaran yang merepresentasikan ruang dialog dan wacana saling bertemu, mempengaruhi, mengaitkan berbagai kepentingan, pola kekuasaan serta konteks sosial dan sejarahnya.
Polivocality menyematkan berbagai pandangan yang berbeda (atau suara) dengan cakupan teori-teori yang saling mengisi dan dengan mudah dapat didukung satu sama lain, meski ini membutuhkan ketelitian dalam mengkombinasikan pandangan-pandangan lain agar memberikan kesesuaian bagi karekater akademis Kajian budaya.
Paradigma yang digunakan mengambil model triangulasi yang berupaya mengkombinasikan berbagai macam bahan atau metode-metode untuk melihat apakah saling menguatkan satu sama lain. Maka, kajian budaya sangat berpotensi memberikan peluang bagi suatu kajian yang baru dan menarik minat mahasiswa.Validitas (keabsahan) penelitian dalam Cultural Studies yang menuju ‘kebenaran’ (truth) maka yang dipakai adalah triangulation.
Berbeda dengan antropologi tradisional, cultural studies bertumbuh dari berbagai analisis tentang masyarakat industri modern. Metodeloginya bersifat tipikal interpretative dan evaluative, namun berbeda dari humanism tradisional cultural studies menolak persamaan yang dibuat antara kebudayaan dan kebudayaan tinggi dengan alasan bahwa segala bentuk produksi budaya harus dipelajari dalam kaitan praktek kebudayaan lainnya dan dalam kaitan dengan struktur-struktur sosial dan historis.

3.      PEMAHAMAN AKSIOLOGI TERHADAP ILMU KAJIAN BUDAYA

Aksiologi merupakan  cabang filsafat ilmu  yang mempertanyakan bagaimana  manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi berasal dari bahasa Yunani  : axion (nilai) dan logos (teori), yang berarti  teori tentang nilai. Di jaman modern ini ilmu merupakan  sesuatu yang penting  bagi  kehidupan manusia, karena dengan ilmu  semua kebutuhan manusia  dapat terpenuhi.

Aksiologi  adalah sebuah istilah  yang dalam filsafat  ilmu pengetahuan biasanya digunakan untuk menjelaskan  asas manfaat  atau kegunaan  suatu ilmu pengethuan. Kajian budaya  merupakan  istilah  yang menunjuk kepada  salah satu bidang  ilmu yang dalam bahasa  Inggris  disebut Cultural Studies  yang pengertiannya  dibedakan  dengan pengertian Study of Culture atau kajian tentang kebudayaan. (Barker, 2005).

Aksiologis dalam kajian budaya (Cultural Studies) berhubungan dengan makna pengetahuan tersebut bagi kehidupan manusia. Secara kuantitatif ilmu akanterus berkembang, aspek aksiologis suatu ilmu pengetahuan bersifat pragmatis berhubungan dengan nilai dan manfaat bagi kemanusiaan. Dengan meminjam istilah ilmu ekonomi, sebagai suatu produk (identik dengan komoditi) hasil sebuah aktivitas atau proses ilmiah setiap ilmu pengetahuan pasti memiliki nilai guna (utility) dan kebergunaan (usefulness). Misalnya handphone adalah suatu produk iptek.Sebagai handphone, dia memiliki nilai guna (utility) tersendiri tetapi kebergunaannya (usefulness) hampir tidak ada di suatu daerah yang tidak dijangkau sinyal telekomunikasi.
Sebagai ilmu, nilai guna yang dimiliki disiplin ini tercermin dalam tujuan dibangunnya ilmu itu sendiri yakni untuk mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun melakukan penerapan. 
Untuk mengetahui nilai guna dari cultural studies, dapat dilihat dari perubahan makna kata culture. Pada awalnya, culture berarti kecenderungan dalam pertumbuhan alamiah atau proses pendidikan manusia. Dalam masa industriInggris kata itu kemudian mendapat beberapa arti yang khas. 1. Kebiasaan berpikir (habbit of mind) yang terhubung dengan kesempurnaan atau penyempurnaan diri manusia, 2. Keadaan umum dariperkembangan intelektual suatu masyarakat secara keseluruhan, 3.Segala sesuatu yang berhubungan dengan kesenian (general body of arts), 4. Keseluruhan cara hidup, materiil, intelektual dan spiritual. Kata ini dan pergeseran makna didalamnya menunjukkan dengan sangat jelas berbagai pergeseran kepentingan yang terjadi karena pengaruh dinamika baru yang dibawa industrialisasi. Dengan kata lain, bahasa adalah tempat yang dapat merefleksikan konstruksi berbagai kepentingan yang saling bersaing dalam masyarakat. Cultural studies tidak memberikan strategi bagaimana menyelesaikan masalah, tetapi lebih memberi perhatian kepada munculnya suatu masalah karena tidak disadarinya berbagai kepentingan yang dikonstruksikan dalam kebudayaan. Karena itu tugas cultural studies adalah mengungkapkan berbagai kepentingan tersebut dengan memberi fokus kepada beberapa masalah seperti peranan kekuasaan dalam kebudayaan, persoalan kebudayaan tinggi dan rendah dalam kebudayaan, depolitisasi atau politisasi pengertian keudayaan, serta kedudukan gender dan seksualitas dalam kebudayaan. Kecenderungan-kecenderungan seperti ini berjalan parallel dengan perkembangan yang terjadi dalam post-modernisme, yang ingin memeriksa kembali ideologisasi kepentingan tertentu melalui ilmu pengetahuan dan paham-paham kebudayaan dalam modernisme.
  
Kajian Budaya (Cultural Studies) sebagai salah satu bidang ilmu baru di Indonesia, memiliki gagasan tentang keberpihakan atau membela  kepada pihak  atau golongan tertentu dengan mengutamakan  sifat partisipatoris, dan hal ini  berkaitan dengan  asas manfaat  atau aspek aksiologi dari ilmu kajian budaya. Sejalan dengan itu diharpkan ilmu kajian budaya dapat bernilai  guna, yakni memberdayakan masyarakat  atau membebaskan  manusia  dari penindasan  dan marginalisasi (Dhana, I Nyoman, 2013).

Revitalisasi Fungsi Tradisi Kasalasa dalam Kehidupan Masyarakat Muna (Studi Pada Komunitas Petani Etnis Muna)*

Rahmat Sewa Suraya**

Abstract

This study discusses the revitalization of tradition Kasalasa function in shifting cultivation in the farming community of ethnic Muna. This study is a culture that uses qualitative methods and analysis techniques-qualitative descriptive and interpretative.
Based on the study, the function of tradition Kasalasa, gives us that so many of the values​​, norms and customs of the functions contained in the tradition that should be revitalized and can be a reference in the current society Muna. Therefore Kasalasa traditions that are part of the oral tradition Muna ethnic communities, especially farmers who live in Residential City Unit Wuna need attention and remain preserved.

Kata Kunci : Tradisi Kasalasa, Revitalisasi, Petani, Etnis Muna.


Penelitian ini membahas revitalisasi fungsi tradisi Kasalasa dalam perladangan berpindah pada komunitas petani etnis Muna. Penelitian ini merupakan penelitian kebudayaan yang menggunakan metode kualitatif dan teknik analisis deskriptif-kualitatif dan interpretatif.
Berdasarkan  telaah, fungsi  dari tradisi Kasalasa, memberikan gambaran kepada kita bahwa begitu banyak nilai-nilai, norma-norma serta adat-istiadat yang terkandung di dalam fungsi tradisi tersebut yang harus direvitalisasi dan dapat menjadi rujukan dalam kehidupan masyarakat Muna saat ini. Oleh karena  itu tradisi Kasalasa yang merupakan bagian dari tradisi lisan masyarakat etnis Muna khususnya petani yang bermukim di Unit Pemukiman Kota Wuna perlu mendapat perhatian dan tetap dilestarikan.


I.     Pendahuluan
Budaya-budaya lokal di dalam era globalisasi ekonomi, informasi, dan kultural  dewasa ini berada di dalam sebuah kondisi tarik menarik atau ‘tegangan’ (tension)  dalam kaitannya dengan berbagai tantangan dan pengaruh globalisasi, yang menghadapkannya pada pilihan-pilihan yang dilematis. Di satu pihak, globalisasi dilihat oleh budaya-budaya lokal sebagai sebuah  peluang bagi pengembangan potensi diri dan keunggulannya dalam sebuah medan persaingan global yang kompleks; di pihak lain globalisasi dilihat pula sebagai sebuah ancaman (threat) terhadap eksistensi  dan keberlanjutan    budaya lokal itu sendiri (Pilliang, 2005).
Kalau sistem budaya  tidak cukup kuat lagi  untuk menjadi landasan  sistem sosial, maka  perubahan  akan terjadi. Pada lapisan  material kebudayaan akan muncul  semacam entropi kebudayaan, di mana sistem nilai kebudayaan bersangkutan  tidak mati, tetapi kehilangan  dayanya untuk memotivasi dan mengontrol sistem sosial yang ada. Perubahan-perubahan itu terjadi dan akan mempengaruhi sistem budaya masyarakat termasuk tradisi yang ada di masyarakat (Kleden, 1987 : 239).
Kearifan lokal sebagai bagian dari tradisi dapat diperhitungkan sebagai realitas nilai budaya alternatif dalam kehidupan global berada dalam dua sistem budaya yang harus dipelihara dan dikembangkan, yakni sistem budaya nasional dan sistem budaya lokal. Nilai budaya nasional berlaku secara umum untuk seluruh bangsa, sekaligus berada di luar ikatan budaya lokal mana pun. Nilai-nilai kearifan lokal tertentu akan bercitra Indonesia karena akan dipadu dengan nilai-nilai lain yang sesungguhnya  diwariskan  dari nilai-nilai  budaya lokal.
Tradisi memegang peranan penting dan strategis dalam kehidupan masyarakat Indonesia, karena tradisi sebagai salah satu bentuk budaya lokal yang memiliki  hubungan batin  dengan para pewarisnya  dan diyakini  dapat dimanfaatkan  untuk meningkatkan kualitas  kehidupan masyarakat pendukungnya. Tradisi memiliki peranan penting dan fungsi untuk menguatkan ketahanan budaya bangsa. Hanya  saja, seiring  perkembangan zaman, kian banyak  tradisi yang mulai hilang dan untuk melestarikannya harus memerlukan  waktu dan keahlian tersendiri untuk mengiventarisir dan mengkaji berbagai tradisi yang ada di masyarakat.
Masyarkat etnis Muna memiliki tradisi yang dikenal dengan Kasalasa dalam hubungan dengan perladangan berpindah. Tradisi Kasalasa merupakan kearifan lokal dalam perladangan berpindah yang telah ada sejak dahulu kala sebelum masuknya ajaran Islam di Pulau Muna (Malik, 1997 : 78-79). Tradisi ini telah dilakukan dalam upaya untuk memohon keselamatan dalam kehidupan serta  memohon keberhasilan dalam perladangan yang ditujukan kepada mahluk halus, roh-roh leluhur serta menjaga kelestarian lingkungan.
Tradisi Kasalasa merupakan kearifan lokal yang dilakukan oleh etnis Muna dalam memulai setiap kegiatan perladangan berpindah, merupakan suatu kekuatan kultural  yang telah mengkristal dalam diri setiap petani. Prosesi ini dilakukan oleh petani pada awal membuka ladang baru untuk pertanian. Kasalasa dilakukan oleh sejumlah petani yang akan membuka lahan baru yang dipimpin oleh seorang dukun (parika) yang dilengkapi dengan berbagai perlengakapan sebagai syarat dalam pelakasanaan ritus. Kasalasa dilakukan oleh komunitas petani dengan maksud untuk mendapatkan keselamatan dalam kegiatan berladang. Prosesi  Kasalasa merupakan sebuah ritus yang harus dilakukan petani untuk memulai kegiatan perladangannya.
Seiring dengan perkembangan zaman dan penyebaran ajaran agama khususnya masuknya ajaran agama Islam turut mempengaruhi  atau mengubah  perilaku  masyarakat etnis Muna terhadap eksistensi nilai-nilai tradisi Kasalasa. Ajaran agama Islam  telah mempengaruhi  seluruh sendi kehidupan  masyarakat. Etnis Muna  lebih taat pada  ajaran agama Islam  dan perlahan-lahan tradisi yang menjadi norma  panutan  masyarakat adat perlahan-lahan  mulai longgar. Hal ini merupakan dilema  dan pilihan  masyarakat menyangkut  dengan legalitas  mereka sebagai  umat Islam, sehingga tradisi Kasalasa turut terancam, masyarakat lebih patuh  kepada ajaran yang disiarkan oleh para ulama  dari pada norma-norma tradisi setempat.
Kenyataannya dewasa ini tradisi Kasalasa tersebut tidak lagi dilakukan oleh sebagaian komunitas petani yang ada di Kabupaten Muna. Generasi muda tidak lagi memahami  tentang fungsi yang terkandung dalam tradisi tersebut. Sehingga dengan demikian tradisi Kasalasa tersebut lambat laun akan ditinggalkan dan tidak dikenal lagi oleh  etnis Muna sebagai pemilik budaya tersebut (Suraya : 2011). Berdasarkan fenomena tersebut, maka perlu dilakukan upaya revitalisasi untuk tradisi Kasalasa yang dilakukan dalam wujud penelitian dengan judul : Revitalisasi Fungsi Tradisi Kasalasa dalam Kehidupan Masyarakat Muna. (Studi pada Komunitas Petani Etnis Muna).

2.      Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kebudayaan yang menggunakan metode kualitatif dan teknik analisis deskriptif-kualitatif. Mengikuti pendapat Muhadjir (1994 : 49); Mariyah (2009) bahwa metode kualitatif merupakan suatu strategi penelitian yang menghasilkan keterangan atau data yang dapat mendiskripsikan realitas sosial, dan kejadian-kejadian yang terkait dengan kehidupan masyarakat, sejarah, perilaku, fungsionalisasi organisasi, hubungan kekerabatan, dan pergerakan-pergerakan sosial. Dengan demikian, penekanannya bukan pada pengukuran, akan tetapi lebih pada penjelasan yang bersifat holistik sehingga pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kajian budaya, yakni pendekatan etnografi, tekstual, dan resepsi (Barker, 2006 : 29).

3.      Hasil  dan Pembahasan

Revitalisasi Fungsi Tradisi Kasalasa dalam Perladangan Berpindah Masyarakat Etnis Muna
Tradisi Kasalasa dalam sistem perladangan berpindah  merupakan wadah  untuk mewujudkan  kearifan lokal  masyarakat petani di Unit Pemukiman Kota Wuna  mempunyai fungsi yang sangat  besar bagi kelangsungan  hidup mereka. Fungsi-fungsi tersebut  pada hakekatnya   dapat dibagi dua  yaitu : 1) fungsi manifes atau over (yang diharapkan atau fungsi  tampak) dan 2) fungsi laten (yang tidak diharapkan  atau fungsi terselubung).
A. Fungsi Manifes atau Over
1.  Fungsi  Religius (Penghormatan Terhadap Maha Pencipta, Roh Halus, dan  Leluhur)
Menurut Munandar  (1990) sesungguhnya  tradisi megalitik  tidak semata-mata hanya  menghormati dan memuja  roh nenek moyang, walaupun kultus  terhadap nenek moyang  terbukti sangat kuat  dirasakan oleh  masyarakat di Unit Pemukiman Kota Wuna. Hal ini terbukti dengan aktivitas masyarakat yang melakukan penghormatan kepada leluhur mereka dengan berziarah kubur dalam setiap tahunnya, bahkan anggapan masyarakat tentang adanya kesaktian yang terdapat pada beberapa kuburan nenek moyang mereka. Namun demikian, bagi  masyarakat, hal ini juga  difungsikan  secara praktis  untuk perbaikan-perbaikan  dalam kehidupan seperti  mengharpkan hasil panen yang lebih baik, terhindar dari bencana alam atau wabah penyakit, mepemperoleh  keberuntungan  dan pengungkapan rasa syukur (Setiawan 2000).
Tradisi Kasalasa bagi masyarakat petani di Unit Pemukiman Kota Wuna merupakan salah satu kepercayaan tradisional yang bersumber dari nenek moyang mereka secara turun temurun yang di dalamnya terkandung beranekaragam fungsi yang mempunyai nilai dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat.
Herusatoto (1984 : 89) mengemukakan fungsi serta maksud dilaksanakan suatu upacara seperti halnya dalam tradisi Kasalasa adalah untuk menghindarkan atau menjauhkan diri dari gangguan roh-roh jahat dan dapat perlindungan dari roh atau arwah para leluhur”.
Berdasarkan uraian di atas penulis menunjukkan beberapa fungsi sehubungan dengan pantangan dari pelaksanan tradisi Kasalasa dalam kehidupan masyarakat di Unit Pemukiman Kota Wuna berdasarkan hasil wawancara  di lokasi penelitian.
Tradisi Kasalasa yang dilakukan masyarakat petani pada umumnya sebagai usaha manusia untuk memenuhi hasratnya untuk berkomunikasi dengan kekuatan adikodrat (supernatural), karena di dalamnya terdapat nilai-nilai atau simbol-simbol yang berfungsi sebagai alat komunikasi yang bersifat sakral dengan unsur-unsur yang bersifat profan sebagai pola bagi kelakuannya yang telah menjadi tradisi dalam masyarakat yang bersangkutan.
Demikian pula halnya masyarakat di Unit Pemukiman Kota Wuna, mereka dalam mengadakan hubungan baik dengan dunia lain mereka sangat mengutamakan motivasi dan emosi keagamaan dalam memanifestasikan  keinginannya. Hal ini terlihat dalam asumsi mereka di dalam dunia di lingkungan mereka berada juga dihuni oleh roh-roh yang akan mengganggu terhadap eksistensi kehidupan mereka.
Menurut mereka ketika dalam memulai atau memasuki suatu daerah tertentu yang sudah lama ditinggalkan manusia, maka sudah tentu tempat akan dihuni oleh roh-roh halus atau arwah para leluhur. Sehingga dengan demikian hal tersebut di atas kampung (Liwu) yang masyarakat tempati sudah dirusak atau dicemari oleh masyarakat itu sendiri.
Oleh karena itu dengan melakukan pantangan (tabu-tabu) yang menurut kepercayaan mereka tidak boleh dilakukan karena akan merusak kehidupan masyarakat itu sendiri, sehingga setiap tahunnya di Unit Pemukiman Kota Wuna diadakan upacara Kasalasa untuk mensucikan liwu (kampung) mereka, dan menekankan kepada masyarakat untuk tidak berbuat hal-hal yang tidak diperbolehkan seperti pantangan-pantangan yang telah dijelaskan sebelumnya karena akan merusak tujuan dari tradisi Kasalasa.
Salah satu upaya mereka untuk menjalin hubungan baik dengan roh-roh halus atau roh nenek moyang adalah melalui upacara keagamaan yaitu melakukan  Kasalasa. Melalui pelaksanaan tradisi  tersebut terjalin hubungan kerjasama yang erat diantaranya sebagai buktinya adalah saat pelaksanaan Kasalasa  terdapat tanda atau isyarat yang dilakukan  Parika dengan memanggil roh-roh halus seperti jin untuk makan, minum dan merokok terhadap sesajean yang mereka siapkan dan mengarahkan agar tidak melakukan hal-hal yang tidak disenangi roh-roh halus penghuni tempat itu. Hal ini sesuai dengan  isi mantra dalam Kasalasa sebagai berikut :
Ihintu Djini kapute, Ihintu Djini Kadea, Ihintu Djini Mongkolo
Mai fuma, mai mesoso, mae mepana,
Lahae-lahae sokumahemba-hembano, somodaino niati newite aini
Naondawu wuluku setangke, nabonsulikie arantangke.
Naondawu aratangke wuluku nabonsulukie  atolutangke
Naondawu atolutangke wuluku nabonsulukie fatotangke
Naorepu na osaka naghefi-ghefi, naeghabu-ghabu
Tambulao fotuno wewiteno naraka.

Artinya :

Kamu Jin Putih, Kamu Jin Merah, Kamu Jin Hitam
Datang makan, datang merokok, datang makan sirih
Siapa-siapa yang tidak baik sifatnya, yang buruk niatnya di tanah ini
Gugur rambutku sehelai, digantikan dua helai
Gugur dua helai, tergantikan tiga helai
Gugur tiga helai, digantikan empat helai
Akan mati, terbelah hancur seperti kapur, seperti debu
Terjungkir kepalanya, di dalam neraka.
Berdasarkan mantra di atas, seorang dukun membacakan agar jin atau roh halus, serta leluhur yang mendiami lahan yang akan mereka olah sebagai tempat berladang, tidak mengganggu mereka. Menurut kepercayaan mereka hal ini dilakukan sebagai penghormatan terhadap roh-roh halus penghuni tempat itu agar kelak nanti mereka berkebun/berladang akan mendapat perlindungan dari roh-roh halus.
2. Fungsi  Sosial
Sudisantoso (1981 : 28) fungsi upacara tradisional dapat dilihat dari kehidupan sosial masyarakat pendukungnya, keyakinan adanya pengendalian sosial (sosial  control), media sosial (sosial media), norma sosial (sosial  standart) dan pengelompokan sosial (sosial  aligment). Dengan mengacu pendapat Sudisantoso di atas, di bawah ini akan diuraikan fungsi-fungsi tersebut dalam Tradisi Kasalasa. Fungsi sosial yang terdapat dalam kearifan lokal tradisi Kasalasa adalah sebagai berikut :
a.       Sebagai Norma Pengendalian Sosial
Seperti diketahui dalam pelaksanaan upacara terdapat pantangan-pantangan yang harus dihindari oleh setiap warga tani. Pantangan-pantangan tersebut mempunyai makna positif. Karena mengandung norma  atau aturan yang mencerminkan nilai atau asumsi yang baik dan buruk, perintah dan larangan sehingga dapat dipakai sebagai control sosial dan pedoman prilaku bagi masyarakat pendukungnya.
Dalam pantangan Kasalasa terdapat pesan-pesan dan nilai-nilai luhur yang ditunjukan kepada masyarakat Unit Pemukiman Kota Wuna. Nilai aturan dan norma ini tidak saja berfungsi sebagai pengatur prilaku antar individu dalam masyarakat tetapi juga menata hubungan manusia dengan alam lingkungannya dan terhadap Tuhan dan roh-roh halus.

b.       Sebagai Media Sosial
Tradisi Kasalasa mempunyai fungsi sebagai media sosial yaitu sebagai obyek sikap emosional yang menghubungkan masa lampau dan masa sekarang, sebab tradisi Kasalasa dipakai untuk melihat kembali apa yang dilakukan oleh leluhurnya sampai sekarang masih dilanjutkan oleh generasi penerusnya. Sebagai media sosial, tradisi tersebut juga dipakai untuk mengutarakan pikiran, perasaan, kepentingan dan kebutuhan hajad hidup orang banyak. Pesan, harapan, nilai atau nasehat yang disampaikan melalui tradisi itu mendorong masyarakat masih mematuhi warisan parah leluhurnya.
Dilakukannya Kasalasa secara kolektif, pada suatu tempat yang telah ditentukan, memungkinkan  para petani yang mengolah kebun secara bersama-sama akan berkumpul dan saling bertukar pikiran. Olehnya itu dari setiap pelaksanan Kasalasa menjadi media bagi warga petani untuk bercerita, bekumpul dan bertukar pikiran.

3.  Fungsi Konservasi  dan Pelestarian  Sumber Daya Alam (SDA)
Kearifan lokal tradisi Kasalasa dalam perladangan berpindah sangat bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan sumber daya alam hayati. Sebab tradisi Kasalasa dalam kegaiatan perladagan bepindah terdapat sejumlah  pengetahuan berupa aturan, adat istiadat, larangan dan sanksi dalam pengolahan lahan pertanian  yang ditaati  oleh warga petani peladang berpindah, khususnya  dalam hal pemilihan lahan pertanian, perawatan  lahan perladangan dan setelah hasil panen hasil  ladang. 
Sehubungan dengan konservasi dan pelestarian sumber daya alam dalam tradisi Kasalasa mengacu  pada  aturan-aturan  atau cara-cara  yang dilakukan untuk  menjaga serta  meningkatkan  kesuburan tanah. Hal ini dilakukan disebabkan karena terbatasnya lahan yang digunakan untuk berladang berpindah.  Sedangkan  perawatan sesudah digunakan  meliputi aturan-aturan atau cara-cara  untuk memulihkan kembali  kesuburan tanah  setelah digunakan  untuk berladang  selama  jangka waktu  tertentu.
Aturan-aturan maupun cara-cara tersebut  meliputi :
1.      Larangan menebang pohon  ke dalam  hutan bakal ladang.
2.      Larangan  mengembala  ternak  di hutan bakal ladang.
3.      Larangan Membakar  Hutan Bakal Ladang
4.      Kewajiban menghutankan kembali  bekas ladang.

B.  Fungsi Laten
1. Membangun Solidaritas Sesama Petani
Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Begitu pula halnya dengan masyarakat petani yang bermukim di Unit Pemukiman Kota Wuna. Interaksi antara petani yang satu dengan petani yang lainnya merupakann suatu fenomena sosial  yang ditemukan  di wilayah tersebut, sebab segala sesuatu aktivitas yang baik itu dalam kehidupan bermasayarakat maupun yang berhubungan dengan kegiatan perladangan dilakukan secara bersama-sama.
Sesuai dengan fungsi laten, kearifan lokal tradisi Kalasala dalam perladangan berpindah  secara tidak langsung dapat memberikan manfaat yang besar bagi petani yang  ada di Unit Pemukiman Kota Wuna. Tradisi kasalasa yang telah dilakukan secara turun temurun seringkali dilakukan secara kolektif dengan cara saling tolong menolong sejak dilakukannya pengolahan lahan hingga pada pemetikan hasil panen.
2. Fungsi Ekonomi
Salah satu komoditas andalan  yang ditanam oleh petani di Unit Pemukiman Kota Wuna adalah jagung. Selain tanaman jagung juga ditanam berbagai tanaman palawija lainnya seperti tomat, kacang panjang dan berbagai jenis tanaman lainnya yang dapat bernilai ekonomi.
Kearifan Kasalasa dalam tradisi perladangan berpindah dilakukan oleh petani dengan harapan berbagai macam tanaman yang mereka tanam dapat berhasil, tidak mendapat gangguan baik itu  serangan hama tanaman, maupun serangan binatang liar, dan bahkan juga adanya gangguan dari roh-roh halus yang menyerang tanaman sehingga tanaman yang ditanam menjadi kerdil.
Tradisi Kasalasa memberikan semangat bagi para petani, bahwa jika setelah melakukan Kasalasa maka tanaman yang mereka tanam akan jauh dari gangnguan-gangguan yang bisa merusak tanaman. Dengan kepercayaan diri mereka, semangat untuk menanam sangat tinggi. Dengan demikian hasil tanam yang mereka peroleh pula semakin banyak sehingga mendapatkan keuntungan ekonomi dari hasil penjualan  komoditas hasil tanam mereka.


IV. Penutup
1. Kesimpulan
Tradisi Kasalasa dapat berfungsi sebagai penghormatan kepada Maha Pencipta,  Roh halus berupa jin dan setan yang dianggap sebagai penguasa lahan yang akan dijadikan lahan perladangan bahkan akan mengganggu keselamatan jiwa petani dan tanaman. Selain itu tradisi Kasalasa berfungsi sosial, dimana pelaksanan tradisi ini dapat dijadikan sebagai alat untuk pengendalian sosial yang dapat mengontrol tindakan dan perilaku petani dan juga dapat dijadikan sebagai media sosial di antara petani. Dengan acara Kasalasa petani dapat berkumpul bersama untuk bertukar pikiran bersenda gurau dan sebagai ajang untuk ekspresi diri dalam kaitannya dengan kegiatan perladangan berpindah. Fungsi lain yang dapat diperoleh dari kearian lokal Kasalasa adalah terbangunnya jiwa solidaritas di antara sesama kaum petani, rasa rendah diri, saling hormat menghormati senantiasa selalu terbina sesuai dengan tuntutan atau himbauan dalam batata yanga dibacakan dalam mantera Kasalasa. Satu hal yang terpenting dalam pelaksanaan Tradisi Kasalasa, yakni adanya rasa percaya diri para petani akan terhindar dari bahaya sehingga meningkatkan etos kerja dalam berladang. Dari etos kerja yang tinggi, akan mendaptkan hasil yang banyak sehingga dapat menyokong perekonomian mereka, sebab mereka akan mendapatkan keuntungan ekonomi dari penjualan hasil tanam mereka.

2. Saran – Saran
Ilmu pengetahuan dan teknologi modern  yang berasal dari  Barat, bersifat progresif  dan mengedepankan nilai ekonomi, logika rasional cenderung menggeser keberaadaan kearifan lokal  budaya suku-suku bangsa yang telah diterapkan dan diwariskan secara turun-temurun. Akibat pergeseran tersebut saat ini tidak sedikit di dalam budaya suku bangsa sudah mengalami apa yang disebut dengan culture log (kesenjangan budaya). Karena itu berbagai kearifan lokal yang potensial dan relevan bagi penguatan identitas, pendidikan, pengembangan sumber daya manusia, konservsai sumber daya alam, perlu direvitalisasi, dikaji  dan dipublikasikan  dalam upaya pelestarian   dan pengembangan kebudayaan daerah serta pengembangan tradisi lisan nusantara.

Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan, dkk. 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ardana, I Ketut. 2004. “Kesadaran Kolektif Lokal dan Identitas Nasional dalam Proses Globalisasi” dalam I Wayan Ardika dan Darma Putra (ed). Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik. Bali: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Balimangsi Press.
Barker,  Chris. 2006. Cultural Studies : Teori dan Praktik. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Budi, Santoso, S. 1989. Kebudayaan Tradisional dan Fungsinya pada masa kini. Jakarta : Depdikbud
Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.
Kleden, Ignatius. 1996. Pergesarn Nilai Moral, Perkembangan Kesenian dan Perubahan Sosial. Kolom 8, 5-6.
Malik, Luthfi Muh. 1997. Islam dalam Budaya Muna. Suatu Ikhtiar Menatap Masa Depan.  Ujung Pandang : PT. Umitoha Ukhuwah Grafika.
Mariyah, Emililiana, 2009. “Pemahaman Proses Penelitian dan Metodologi Kajian Budaya”. Makalah disampaikan dalam Ceramah Program Pendidikan Magister (S2) Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana Bali, tanggal 15 Agustus 2009. Denpasar. (makalah) : Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta:Bumi Aksara.
Merton, Robert. 1975.”Structural Analysis in Sociology”. Approach To The Study Of Social Structur, Edited by Peter Blau. Ny : Free Press.
Moleong, J. Lexy. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Muhadjir , Noeng.1994, Metodologi Penelitian Kualitatif. Telaah Positivistik, Rasionalistik, Phenomenalogik, Realism Metaphisik. Yogyakarta : Rake Sarasin.
Nasikun. 1995. Sistem Sosial di Indonesia. Jakarta : PT. Grafindo Persada.

Piliang Yasraf Amir, 2004. Dunia yang Dilipat, Tamasya Batas-Batas Kebudayan. Yogyakarta: Jalasutra.
----------------------------. 2005. Menciptakan Keunggulan Lokal Untuk Merebut Peluang Global : Sebuah Pendekatan Kultural. Makalah disampaikan pada seminar “Membedah Keunggulan Lokal dalam Konteks Global”. ISI Denpasar.
Sanderson, Stephen K. 2003. Makro Sosiologi Sebuah Pendakatan Terhadap Realitas Sosial. Edisi Kedua, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik: Antropologi Linguistik atau Linguitik Antropologi. Medan: Penerbit Poda.
Spradley. 1997, Metode Etnografi.  Jogyakarta : PT. Tiara Wacana.
Suraya Rahmat Sewa. 2011. Kearifan Lokal Tradisi Kasalasa  dalam Perladangan Berpindah pada  Komunitas Petani Etnis Muna Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana, Program Magister (S2) Kajian Budaya.