PENDAHULUAN
Apa yang dinamakan kajian budaya saat ini dalam
bidang ilmu sosial, kurang lebih sama dengan apa yang dimaksud dengan cultural
studies, yaitu sebuah pendekatan terhadap kebudayaan yang lahir di Inggris,
yang mendapat bentuk pada akhir 1950-an tetapi kemudian diresmikan sebagai
pusat studi kebudayaan yang dikenal dengan Center For Contemporary Cultural
Studies di Birmingham pada tahun 1964, dengan direktur pertamanya, Richard
Hoggart. Pendekatan terhadap kebudayaan yang diperkenalkan oleh kelompok ini
ternyata memberikan semacam “antitesa” terhadap apa yang berlaku pada
antropologi budaya.
1. PEMAHAMAN ASPEK ONTOLOGI TERHADAP ILMU KAJIAN BUDAYA
Ontologi
yang merupakan jawaban terhadap apa yang menjadi objek sebenarnya (proper
object) dari ilmu tersebut, Setiap ilmu harus mempunyai objek sebenarnya (proper
object) yang berwujud objek material dan objek formal. Objek material
adalah fenomena yang ditelaah oleh ilmu sedangkan objek formal adalah pusat
perhatian dalam penelahaan terhadap fenomena. Tidak bisa disangsikan lagi bahwa
ilmu bisa memiliki objek material yang sama tetapi perbedaan sudut pandang
terhadap objek material yang sama akan menghasilkan macam ilmu yang berbeda.
Secara ontologi, kajian budaya berbeda hakekatnya.
Aspek
ontologi menyangkut fakta, realitas,
fenomena empiris yang menjadi objek telaah
suatu ilmu. Aspek ontologi kajian
budaya (cultural Studies) adalah
menyangkut kebudayaan sebagai
fakta/realitas/ fenomena empiris. Konsep budaya
dalam cultural Studies bukanlah seperti didefenisikan
dalam kajian lain sebagai objek
keadiluhungna estetis atau sebuah
proses perkembangan estetik, intelektual
dan spriritual, melainkan budaya sebagai teks
dan praktik hidup sehari-hari.
Aspek-aspek yang menjadi kajian dari disiplin ilmu Cultural Studies, meliputi apsek politik, ekonomi, kepercayaan,
sturuktur sosial, pendidikan, teknologi, bahasa, seni dan lain-lain (Pujaastawa,
2013).
Secara
lebih spesifik objek telaah kajian budaya (Cultural
Studies) sebagai bagian dari aspek ontology adalah sebagai berikut :
Negara
dan kebijakan sosial
Kontrol
sosial
Budaya
pop
Analisis
wacana
Media
massa
Kajian
jender
Psikologi
sosial
Sosiologi
pendidikan
Gerakan
sosial
Metode
penelitian
Ras
dan etnisitas
Politik
dan politik mikro.
Pujaastawa
(2013)
2. PEMAHAMAN ASPEK EPISTEMOLOGI TERHADAP ILMU KAJIAN BUDAYA
Epistemologis dapat
diartikan sebagai teori ilmu. Sebagai
cabang filsafat, menyelediki asal,
sifat, metode, dan bahasan pengetahuan
manusia. Epistemologi juga
disebut sebagai teori pengetahuan
(theory of knowledge).
Epistemologi sebagai teori pengetahuan, membahas secara mendalam seluruh proses yang terlihat dalam usaha manusia
untuk memperoleh pengetahuan,
sebab pengetahuan didapat melalui proses tertentu
yang dinamakan metode keilmuan. Jujun
S. Sumintri, (1985) dalam Ginting (2013)
Epistemologis yang mengacu
pada metode atau cara bagaimana objek tersebut dikaji untuk mendapat
pengetahuan, Aspek epistimologis dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai metode
yang berarti cara kerja yang teratur dan sistematis yang digunakan untuk
memahami suatu objek yang dipermasalahkan dan sekaligus merupakan sasaran dari
bidang ilmu tertentu. Oleh karena itu setiap cabang ilmu pengetahuan (termasuk
kajian budaya) harus mengembangkan metodologi yang sesuai dengan objek studi
ilmu pengetahuan itu sendiri.kajian budaya adalah sebuah ilmu yang bersifat
interdisipliner, transdisipliner, dan kadang-kadang bahkan kontra
disiplineryang beroperasi dalam tegangan antara berbagai kecenderungan untuk
meliputi sebuah konsesi antropologis yang luas tentang kebudayaan dan sebuah
konsepsi humanis yang semakin dipersempit tentang kebudayaan.
Chris Barker (2005) mengakui bahwa kajian budaya tidak memiliki titik acuan
yang tunggal.Selain itu, kajian budaya memang terlahir dari indung alam
pemikiran strukturalis/pascastrukturalis yang multidisipliner dan teori kritis
multidisipliner, terutama di Inggris dan Eropa kontinental. Artinya kajian
budaya mengkomposisikan berbagai kajian teoritis disiplin ilmu lain yang
dikembangkan secara lebih longgar sehingga mencakup potongan-potongan model
dari teori yang sudah ada dari para pemikir strukturalis/pascastrukturalis.
Sedangkan teori sosial kritis sebenarnya sudah mendahului tradisi disiplin
“kajian budaya” melalui kritik ideologinya yang dikembangkan Madzhab
Frankfurt.Sebuah kritik yang dimaknai dari pandangan Kantian, Hegelian,
Marxian, dan Freudian.Sehubungan dengan karakter akademis, pandangan lain dari
Ben Agger membedakan kajian budaya sebagai gerakan teoritis, dan kajian budaya
sebagai mode analisis dan kritik budaya ateoritis yang tidak berasal dari poyek
teori sosial kritis, yaitu kritik ideologi.
Komposisi teoritis yang
diajukan sebagai karakter akademis dalam kajian budaya mengekspresikan
temuan-temuan baru dalam hal metodologi terhadap cara pemaknaan sebuah praktik-praktik
kebudayaan yang lebih koheren, komprehensif, polivocality (banyak
suara) dan menegasikan keobjektifan suatu klaim pengetahuan maupun bahasa.
Karakter akademis kajian budaya memang sangat
terkait dengan persoalan metodologi.Penteorisasian tidak hanya merujuk pada
satu wacana disiplin tunggal namun banyak disiplin, maka ini pun yang disebut
sebagai ciri khas kajian budaya dengan istilah polivocality. Senada
dengan yang disampaikan oleh Paula Sakko, kajian budaya mengambil bentuk kajian
yang dicirikan dengan topik lived experience (pengalaman yang hidup), discourse
(wacana), text (teks) dan social context (konteks sosial).
Jadi, metodologi dalam kajian budaya ini tersusun atas wacana, pengalaman
hidup, teks, dan konteks sosial dengan menggunakan analisis yang luas mengenai
interaksi antara ‘yang hidup’, yang dimediasi, keberyakinan (agama), etnik,
tergenderkan, serta adanya dimensi ekonomi dan politik dalam dunia jaman
sekarang (modern/kapitalis).
Bagi Saukko, hal yang paling
fundamental dalam “kajian budaya”, pertama, ketertarikan dalam budaya yang
secara radikal berbeda dari budaya yang ada (high culture to low
culture/popular), kedua, analisis dengan kritis budaya yang menjadi bagian
integral dari pertarungan dan budaya (teks dan konteks sosial). Hal yang harus
dipenuhi dalam memandang konteks sosial adalah sensitifitas pada konteks sosial
dan kepedulian pada kesejarahan.
Sedangkan yang menjadi bagian
terpenting dari metodologi kajian budaya dan dianggap good/valid research
adalah truthfulness, self-reflexivity, polivocality.
Dan, menerapkan sebuah validitas dekonstruktif yang biasa digunakan oleh
peneliti pascastrukturalis, yaitu postmodern excess (Baudrillard), genealogical
historicity (Foucalt), dan deconstructive critique (Derrida).
Pada kerangka bagan yang dibuat Saukko dalam bukunya itu, Truthfullness
digambarkan dengan paradigma; ontologi, epistemologi, metapora, tujuan
penelitian dan politik yang disandingkan dengan model triangulasi, prism,
material semiotic dan dialogue.
Self-reflexivity
ditempatkan pada jalur seperti yang digunakan teori sosial kritis yang
dilandaskan pada kritik ideologi dan peran atas basis kesadaran yang
merepresentasikan ruang dialog dan wacana saling bertemu, mempengaruhi,
mengaitkan berbagai kepentingan, pola kekuasaan serta konteks sosial dan
sejarahnya.
Polivocality
menyematkan berbagai pandangan yang berbeda (atau suara) dengan cakupan
teori-teori yang saling mengisi dan dengan mudah dapat didukung satu sama lain,
meski ini membutuhkan ketelitian dalam mengkombinasikan pandangan-pandangan
lain agar memberikan kesesuaian bagi karekater akademis Kajian budaya.
Paradigma yang digunakan
mengambil model triangulasi yang berupaya mengkombinasikan berbagai macam bahan
atau metode-metode untuk melihat apakah saling menguatkan satu sama lain. Maka,
kajian budaya sangat berpotensi memberikan peluang bagi suatu kajian yang baru
dan menarik minat mahasiswa.Validitas (keabsahan) penelitian dalam Cultural
Studies yang menuju ‘kebenaran’ (truth) maka yang dipakai adalah
triangulation.
Berbeda dengan antropologi
tradisional, cultural studies bertumbuh dari berbagai analisis tentang
masyarakat industri modern. Metodeloginya bersifat tipikal interpretative dan
evaluative, namun berbeda dari humanism tradisional cultural studies
menolak persamaan yang dibuat antara kebudayaan dan kebudayaan tinggi dengan
alasan bahwa segala bentuk produksi budaya harus dipelajari dalam kaitan
praktek kebudayaan lainnya dan dalam kaitan dengan struktur-struktur sosial dan
historis.
3. PEMAHAMAN AKSIOLOGI TERHADAP ILMU
KAJIAN BUDAYA
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi
berasal dari bahasa Yunani : axion (nilai) dan logos (teori), yang berarti
teori tentang nilai. Di jaman modern ini ilmu merupakan sesuatu yang penting bagi
kehidupan manusia, karena dengan ilmu
semua kebutuhan manusia dapat
terpenuhi.
Aksiologi adalah sebuah istilah yang dalam filsafat ilmu pengetahuan biasanya digunakan untuk
menjelaskan asas manfaat atau kegunaan
suatu ilmu pengethuan. Kajian budaya
merupakan istilah yang menunjuk kepada salah satu bidang ilmu yang dalam bahasa Inggris
disebut Cultural Studies yang pengertiannya dibedakan
dengan pengertian Study of Culture
atau kajian tentang kebudayaan. (Barker, 2005).
Aksiologis dalam kajian budaya (Cultural Studies) berhubungan dengan
makna pengetahuan tersebut bagi kehidupan manusia. Secara kuantitatif ilmu
akanterus berkembang, aspek aksiologis suatu ilmu pengetahuan bersifat
pragmatis berhubungan dengan nilai dan manfaat bagi kemanusiaan. Dengan
meminjam istilah ilmu ekonomi, sebagai suatu produk (identik dengan komoditi)
hasil sebuah aktivitas atau proses ilmiah setiap ilmu pengetahuan pasti
memiliki nilai guna (utility) dan kebergunaan (usefulness).
Misalnya handphone adalah suatu produk iptek.Sebagai handphone,
dia memiliki nilai guna (utility) tersendiri tetapi kebergunaannya (usefulness)
hampir tidak ada di suatu daerah yang tidak dijangkau sinyal telekomunikasi.
Sebagai ilmu, nilai guna yang
dimiliki disiplin ini tercermin dalam tujuan dibangunnya ilmu itu sendiri yakni
untuk mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, ataupun
melakukan penerapan.
Untuk
mengetahui nilai guna dari cultural studies, dapat dilihat dari
perubahan makna kata culture. Pada awalnya, culture berarti
kecenderungan dalam pertumbuhan alamiah atau proses pendidikan manusia. Dalam
masa industriInggris kata itu kemudian mendapat beberapa arti yang khas. 1.
Kebiasaan berpikir (habbit of mind) yang terhubung dengan kesempurnaan
atau penyempurnaan diri manusia, 2. Keadaan umum dariperkembangan intelektual
suatu masyarakat secara keseluruhan, 3.Segala sesuatu yang berhubungan dengan
kesenian (general body of arts), 4. Keseluruhan cara hidup, materiil,
intelektual dan spiritual. Kata ini dan pergeseran makna didalamnya menunjukkan
dengan sangat jelas berbagai pergeseran kepentingan yang terjadi karena
pengaruh dinamika baru yang dibawa industrialisasi. Dengan kata lain, bahasa
adalah tempat yang dapat merefleksikan konstruksi berbagai kepentingan yang
saling bersaing dalam masyarakat. Cultural studies tidak memberikan
strategi bagaimana menyelesaikan masalah, tetapi lebih memberi perhatian kepada
munculnya suatu masalah karena tidak disadarinya berbagai kepentingan yang
dikonstruksikan dalam kebudayaan. Karena itu tugas cultural studies
adalah mengungkapkan berbagai kepentingan tersebut dengan memberi fokus kepada
beberapa masalah seperti peranan kekuasaan dalam kebudayaan, persoalan kebudayaan
tinggi dan rendah dalam kebudayaan, depolitisasi atau politisasi pengertian
keudayaan, serta kedudukan gender dan seksualitas dalam kebudayaan.
Kecenderungan-kecenderungan seperti ini berjalan parallel dengan perkembangan
yang terjadi dalam post-modernisme, yang ingin memeriksa kembali ideologisasi
kepentingan tertentu melalui ilmu pengetahuan dan paham-paham kebudayaan dalam
modernisme.
Kajian Budaya (Cultural Studies) sebagai salah satu bidang ilmu baru di Indonesia,
memiliki gagasan tentang keberpihakan atau membela kepada pihak
atau golongan tertentu dengan mengutamakan sifat partisipatoris, dan hal ini berkaitan dengan asas manfaat
atau aspek aksiologi dari ilmu kajian budaya. Sejalan dengan itu
diharpkan ilmu kajian budaya dapat bernilai
guna, yakni memberdayakan masyarakat
atau membebaskan manusia dari penindasan dan marginalisasi (Dhana, I Nyoman, 2013).